JUAL BELI YANG DIPERDEBATKAN
Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Pertama : Penjualan kredit dengan tambahan harga
Jual beli dalam fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan –dari tangan ke tangan–, dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, hutang de-ngan hutang. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau pembayaran kontan dan penyerahan barang tertunda, maka itu disebut jugal beli as-Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah. Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang di-bayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu. Itu disebut jual beli taqsit atau kredit. Kredit di sini merupakan cara memberikan pembayaran barang dagangan.
Jual beli kredit itu hanyalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah. Syariat yang suci membolehkan jual beli nasiah itu dengan pembayaran tertunda, demikian juga dengan jual beli as-Salm dengan penyerahan barang tertunda, sesuai dengan syarat-syarat yang akan dijelaskan pada kesempatan lain.
Disyariatkannya Jual Beli Nasi’ah (berhutang terlebih dahulu)
Para ulama telah bersepakat tentang dibolehkannya jual beli nasiah karena banyaknya hadits-hadits yang tegas yang diriwa-yatkan tentang jual beli itu. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lainnya bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran ter-tunda. Beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu”, bab: Nabi Membeli dengan Pembayaran Tertunda, nomor 2068, 2069, dan bab: Membeli Makan dengan Pembayaran Tertunda 2200. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musqat, bab: Penggadaian dan Pembolehannya, nomor 1063.)
Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga dibolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli kredit tidak lain adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu. Tidak ada perbedaan dalam hukum syariat terhadap jual beli dengan pem-bayaran tertunda dalam satu waktu atau pada beberapa waktu berbeda.
Hukum Jual Beli Kredit Dengan Tambahan Harga Karena Faktor Waktu Penundaan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada asalnya jual beli kredit telah disepakati kehalalannya. Akan tetapi terkadang ter-jadi hal yang kontroversial dalam jual beli semacam ini, yakni bertambahnya harga dengan ganti tenggang waktu. Misalnya har-ga suatu barang bila dibeli secara kontan adalah seratus juneih. Lalu bila dibayar dengan kredit, harganya menjadi seratus lima puluh juneih. Pendapat yang benar dari para ulama adalah diboleh-kannya bentuk jual beli kredit semacam ini, berdasarkan alasan-alasan berikut:
Keumuman dalil yang menetapkan dibolehkannya jual beli semacam ini. Penjualan kredit hanyalah salah satu dari jenis jual beli yang disyariatkan tersebut (jual beli nasi’ah). Para ulama yang melarangnya tidak memberikan alasan yang mengalihkan hukum jual beli ini menjadi haram.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu”amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282).
Ayat tersebut secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hukum menjual barang yang berada dalam kepemilikian namun dengan penyerahan tertunda, yakni jual beli as-Salm. Karena dalam jual beli as-Salm juga bisa dikurangi harga karena penyerahan barang yang tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh dilebihkan harganya karena pembayarannya yang tertunda.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Emas boleh dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, asal sama ukuran atau takarannya, diserahterimakan dan dibayar secara langsung. Kalau jenis yang satu dijual dengan jenis yang lain, silahkan kalian menjual sekehendak kalian, namun harus tetap dengan kontan.” (Diriwayatkan oleh Muslim kitab al-Musaqat, bab: Money Changer, dan Barter Emas dengan Perak Secara Kontan, nomor 158)
Dalam hadits ini ada indikasi terhadap beberapa hal berikut:
Apabila emas dijual dengan emas, gandum dijual dengan gandum, disyaratkan harus ada kesamaan ukuran atau takaran dan langsung diserahterimakan (asal sama ukuran atau takaran-nya, diserahterimakan dan dibayar secara langsung). Maka diha-ramkan adanya kelebihan berat atau takaran salah satu barang yang ditukar, dan juga diharamkan pembayaran tertunda.
Namun kalau emas ditukar dengan perak, atau kurma de-ngan jewawut, hanya disyaratkan serahterima dan pembayaran langsung saja, namun tidak disyaratkan harus sama ukuran mau-pun takarannya. Dibolehkan ketidaksamaan ukuran dan takaran, karena perbedaan jenis, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahan barang dan pembayarannya.
Apabila emas ditukar atau dijual dengan gandum, atau pe-rak dengan kurma, boleh tidak sama ukuran/takarannya dan boleh juga ditangguhkan penyerahan kompensasi dan pemba-yarannya. Karena dibolehkannya kelebihan salah satu barang tersebut oleh perbedaan jenis, juga disebabkan oleh perbedaan waktu.
Penjualan emas dengan emas ada kesamaan, sehingga tidak bisa diberlakukan jual beli nasiah,yakni dengan sistem penye-rahan barang tertunda, karena penundaan itu bisa menghilangkan kesamaan tersebut. Namun syarat itu tidak berlaku pada pen-jualan emas dengan gandum misalnya. Oleh sebab itu boleh ada kelebihan salah satu barang yang dipertukarkan, baik karena perbedaan kualitas, bisa juga karena perbedaan waktu.
Kacaunya Alasan-alasan Mereka yang Melarang Jual Beli Ini
Dalam mengharamkan jual beli ini (kredit dengan harga lebih besar) mereka beralasan bahwa tambahan tersebut sebagai padanan dari pertambahan waktu. Mengambil keuntungan tam-bahan dari pertambahan waktu termasuk riba.
Alasan ini bisa dibantah, bahwa tambahan tersebut tidak bisa digolongkan sebagai riba yang diharamkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahwasanya semua komoditi riba fadhal yang enam bila dijual dengan yang sejenis, maka diharam-kan sebagai riba karena kelebihan salah satu barang transaksinya dan karena penundaan serah terima (emas dengan emas atau dolar dengan dolar). Dan kalau sesuatu itu dijual atau dibarter dengan jenis lain namun memiliki kesamaan ‘illah/ alasan hukum (emas dengan perak, dolar dengan juneih), boleh dilebihkan salah satunya, namun tidak boleh dilakukan dan serah terima tertunda. Dan apabila yang dibarter adalah barang dengan yang tidak sejenis dan tidak sama ‘illat-nya (emas dengan gandum atau dolar dengan kurma) boleh dilebihkan salah satunya dan juga dibo-lehkan serah terima tertunda. Yakni dibolehkan perbedaan harga karena perbedaan jenis, dan dibolehkan perbedaan harga karena penangguhan serah terima.
Mereka yang mengharamkan juga beralasan dengan nash-nash umum yang mengharamkan riba, bahwa jual beli ini juga tergolong riba. Namun keumuman nash ini dikonfrontasikan dengan nash-nash umum lain yang menghalalkan jual beli secara kontan dan tertunda pembayaran atau serah terima barangnya. Dan jual beli ini juga termasuk di antaranya.
Mereka juga beralasan dengan riwayat larangan melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus mengambil keuntungan terendah, bila tidak berarti ia melakukan riba.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud 2461. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 4974. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1231. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 296. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim II: 45, dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim.)
Namun alasan ini dapat dibantah kalau pun dimisalkan hadits ini shahih, maka dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli itu ditafsirkan sebagai jual beli ‘inah, bukan jual beli dengan pembayaran tertunda semacam ini. Maksudnya (‘inah) adalah membeli barang untuk dibayar tertunda, kemudian mengem-balikan barang itu kepada penjual dan menjualnya dengan harga lebih murah secara kontan. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah jual beli manipulatif sebagai riba tersembunyi dengan cara yang menyamarkannya, di mana barang dagangan hanya dijadikan se-bagai mediator kosong saja, untuk melegalitas peminjaman uang berbunga.
Ada juga yang berpendapat bahwa arti dua transaksi dalam satu jual beli itu adalah terjadinya dua jual beli pada satu barang transaksi. Caranya adalah dengan memberikan pinjaman uang satu dinar untuk membeli satu kilo gandum misalnya dan dibayar tiga bulan kemudian. Bila sudah datang waktu pembayarannya, si penjual itu berkata, “Juallah kepadaku gandum milikmu itu dengan lima ratus kilo dalam jangka enam bulan,” misalnya. Ini adalah jual beli kedua yang masuk dalam jual beli pertama. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah seseorang yang mengatakan, “Kamu jual kepadaku barang ini dengan syarat engkau juga menjual rumahmu kepadaku.” Ini adalah penafsiran Imam asy-Syafi’i. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah bila seseorang berkata, “Saya jual barang ini kepadamu secara kontan dengan harga sepuluh juta, dan dengan harga lima belas juta bila dibayar dalam jangka setahun.” Lalu si pembeli mengambil barang itu tanpa menentukan harga mana dengan jangka waktu yang mana yang dia pilih. Ini adalah penafsiran Malik dan salah satu pendapat asy-Syafi’i. Alasan dilarangnya jual beli ini adalah adanya manipulasi yang muncul dari ketidaktahuan ukuran harga yang sesungguhnya.
Yang perlu diingatkan di sini bahwa apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keter-lambatannya. Namun ia berhak untuk menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu ter-masuk dalam akad kreditnya.
Penjelasan Majelis Ulama Fiqih Tentang Hukum Jual-beli Kredit
Pembolehan jual beli dengan pembayaran tertunda dengan tambahan harga yang telah kami paparkan sebelumnya, demikian juga tidak bolehnya memberikan sanksi denda bila terjadi keter-lambatan, adalah pendapat yang dipilih oleh Majelis Ulama Fiqih yang ikut dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamar-nya yang keenam di Jeddah pada bulan Sya”ban tahun 1410 H. ditetapkan sebagai berikut:
“Dibolehkannya tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
Menurut ajaran syariat, ketika terjadi proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penam-bahan waktu saja.
Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutang-nya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
Orang yang berhutang padahal mampu membayar tidak boleh dia memperlambat pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi per-syaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keter-lambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang penjual meminta pe-nyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli sete-lah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan di tempatnya seba-gai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.
Kedua : Jual Beli ‘Inah
‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan mi-salnya: si Fulan melakukan “ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah “ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki “ain (benda) yang dia jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pem-bayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Para ulama sependapat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya.
Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya. Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:Haram.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Di antara dalil-dalil mereka dalam menetapkan keharamannya yaitu:
Riwayat Atha dari Ibnu Umar -rodhiyallahu “anhu- bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya). (Diriwayatkan oleh Abu Daud 3456. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi V: 325. Namun dalam sanadnya terdapat Atha al-Khurasani ia perawi yang lemah. Ia meriwayatkan dari Ishaq bin Usaid al-Khurasani, yang juga tidak diketahui identitasnya. Demikian dinyatakan oleh Abu Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Iyyasy, dari al-A”masy. Dikeluarkan oleh Ahmad (4875 cet. Syakir) Ibnu Iyyasy ini juga lemah, ia menjadikan riwayat ini dari Atha bin Abi Rabbah. Lihat Sunan al-Baihaqi V: 316 dan juga Nashbur Raayah IV: 16 dan juga asy-Syarhul Kabir terhadap al-Muqni” IV: 54.)
Indikasi hadits terhadap haramnya jual beli ini amat jelas. Karena berjual beli dengan sistem ‘inah merupakan salah satu sebab turunnya bencana. Alasan dengan hadits ini dapat dibantah dari dua sisi:
Sisi pertama: Dari sisi sanad. Karena dalam sanad hadits itu terdapat Ishaq bin Usaid al-Khurasani yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam sanad hadits itu juga terdapat Atha al-Khurasani. Ia juga masih diragukan.
Sisi kedua: Dari sisi indikasinya terhadap keharaman jual beli ‘inah. Karena jual beli ‘inah dalam hadits itu diseiringkan dengan berbagai hal lain yang tidak diharamkan, seperti membajak de-ngan sapi dan sibuk bercocok tanam.
Jelas sekali bahwa bantahan ini lemah sekali. Karena hadits ini menggabungkan beberapa hal yang berbeda dalam satu alur pembicaraan, padahal hukum masing-masing dari semua hal tersebut berbeda-beda tergantung dengan niat dan tujuan. Seperti sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam :
“Hasil profesi tukang bekam adalah busuk. Hasil upah seorang dukun adalah busuk. Upah bagi seorang pelacur adalah busuk.( Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat bab: Diharamkannya Menjual Anjing, nomor 1568.)
“Padahal upah kerja seorang pembekam tidaklah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berbekam dan memberikan upah kepada si tukang bekam.” ( Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5151. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2164, dan sanadnya shahih. Lihat Tahdzibus Sunan V: 101)
Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah radhiyallah ‘anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, “Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, “Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!” Wanita itu berkata, “Bagai-mana kalau yang kuambil hanya modalku saja?” Aisyah menjawab, “Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah: 275).
Indikasi hadits tersebut terhadap keharaman jual beli ter-sebut jelas sekali. Bahkan Aisyah menganggap perbuatan itu dapat membatalkan pahala haji dan jihad, kecuali kalau pelaku-nya bertaubat.
Namun alasan dengan dalil ini juga dapat dibantah dari dua sisi pula:
Pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri Abu Ihshaq di sini tidak diketahui identitasnya, dan dia juga belum pernah mendengar hadits dari Aisyah. Namun ia mendengarnya dari istri Abu as-Safar, dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
Kedua: Dari sisi indikasi hadits. Karena mustahil bila Aisyah sampai menetapkan batalnya pahala jihad seorang sahabat besar karena satu perkara yang paling banter beliau hanya bisa dihu-kum sebagai seorang mujtahid yang keliru. Beliau berhak menda-patkan satu pahala, bukan sebaliknya malah divonis telah batal pahala haji dan jihadnya! Bagaimana tidak? Beliau adalah salah seorang yang turut melakukan baiat di bawah pohon ar-Ridhwan. Keridhaan Allah terhadap para pelakunya tercatat dalam ayat Al-Qur”an yang dibaca oleh umat manusia sepanjang masa?
Kemudian alasan mereka yang lain adalah beberapa riwayat daripada sahabat tentang haramnya jual beli ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas y bahwa ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menjual sehelai sutera kepada orang lain seharga seratus dirham. Kemudian ia membelinya kembali seharga lima puluh dirham saja secara kontan. Ibnu Abbas men-jawab, “Itu artinya menjual dirham dengan dirham secara berbu-nga, namun mediatornya adalah sehelai sutera.”
Di antaranya lagi riwayat dari Anas bin Malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah –yakni dengan sutera sebagai mediatornya-, beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mungkin dikelabui. Itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Apabila seorang sahabat Nabi mengatakan, “Diharamkan oleh Allah dan RasulNya,” demikian juga bila ia mengatakan, “..diperintahkan oleh Allah dan RasulNya,” maka hukumnya seperti hadits marfu”, yakni yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam langsung.
Namun alasan dengan riwayat-riwayat itu juga masih bisa dibantah, yakni bahwa semua riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menetapkan bolehnya jual beli tersebut. Maka pendapat para sahabat yang melarangnya itu bisa ditafsirkan, bila jual beli itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan secara kebetulan.
Pendapat kedua: Boleh. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan azh-Zhahiriyah. Di antara dalil-dalil mereka misalnya:
Keumuman nash atau dalil-dalil tegas tentang halalnya jual beli. Jual beli ‘inah adalah salah satu dari bentuk jual beli. Tidak akan keluar dari asal hukum jual beli, kecuali dengan dalil.
Namun pendapat ini bisa dibantah, bahwa semua dalil-dalil umum tersebut telah dikhususkan oleh berbagai dalil lain yang dijadikan alasan oleh para ulama yang melarangnya.
Beberapa riwayat dari sebagian sahabat.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya bahwa ada seorang lelaki yang pernah menjual pelana kuda namun tidak mengambil langsung bayarannya. Pemilik pelana baru yang mem-beli pelana itu darinya, berencana menjualnya kembali. Orang yang menjual pelana tadi mau membelinya kembali dengan harga lebih murah. Persoalan itu ditanya kepada Ibnu Umar, namun beliau menganggap jual beli itu sah-sah saja. Ibnu Umar berkata, “Bisa jadi kalau ia menjualnya kepada orang lain, ia juga akan menjualnya dengan harga itu, atau bahkan lebih murah lagi.”
Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi bahwa ada seorang lelaki yang menjual unta kepada orang lain (dengan pembayaran ter-tunda), lalu ia berkata, “Berikan kembali kepadaku untamu itu, dan akan kubayar kontan tiga puluh dirham.” Mereka mena-nyakan persoalan itu kepada Syuraih, dan beliau menganggap hal itu tidak menjadi masalah.
Kalau jual beli itu tidak sah, tidak akan dibolehkan oleh Ibnu Umar dan Syuraih!
Alasan dengan hadits ini masih bisa dibantah, bahwa hadits-hadits ini bertentangan dengan berbagai riwayat lain yang justru melarang, sebagian di antaranya telah dipaparkan sebelumnya.
Memilih Pendapat yang Benar
Yang bisa kita simpulkan setelah memaparkan beberapa pendapat tersebut, bahwa yang benar jual beli semacam itu dilarang, untuk menutup jalan menuju riba dan memutus jalan bagi orang-orang yang suka membuat penyamaran terhadap bentuk usaha yang haram, agar tujuan mereka tidak tercapai.
Ketiga: Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni me-ngembalikan barangnya, kalau si pembeli mengembalikan uang bayarannya.
Selayang Pandang Sejarah Jual Beli Wafa
Bentuk jual beli ini terjadi pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke lima hijriyah. Yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik, sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain orang banyak amat membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan keluar yang mereka anggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang mati yang bisa jadi dia niatkan secara keras agar tidak keluar dari kepemilikannya.
Manfaat bagi pembeli sehingga dapat mengembangkan har-tanya, jauh dari lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan.
Proses Transaksi Jual Beli Wafa
Jelas bahwa transaksi semacam itu mengandung improvisasi berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian.
Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misal-nya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya penggu-naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, se-perti tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya pera-watannya atas penjual di samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan barang itu bila si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Hukum Wafa
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa ini.
* Ada di antara ulama yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa me-nempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
* Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai pega-daian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku di dalamnya.
* Di antara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan.
* Ada juga di antara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena dibutuhkan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasi-litas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya. Namun sebutan sebagai jual beli pelunasan atau jual beli amanah tidak lepas dari jual beli sepeti itu karena yang dilihat adalah hakikat dan tujuan sesung-guhnya dari jual beli tersebut, bukan bentuk aplikatif dan tam-pilan lahiriahnya saja.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sejenis jual beli yang mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang dalam jual beli itu mereka bersepakat bahwa apabila telah dikem-balikan pembayaran si penjual, barang juga dikembalikan, adalah jual beli batil menurut kesepakatan para imam, baik dengan per-syaratan yang disebutkan dalam waktu akad atau melalui kesepa-katan sebelum akad. Itu pendapat yang tepat daripada ulama”.
Keempat: Jual Beli dengan Sistem Panjar/Uang Muka
Panjar dalam bahasa Arab adalah urbun. Secara bahasa arti-nya adalah yang dijadikan perjanjian dalam jual beli. Diucapkan urbun. Adapun arbun, tidak umum diucapkan oleh orang-orang Arab.
Adapun arti terminologisnya yaitu: Sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si pen-jual. Bila akad itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dima-sukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka men-jadi milik si penjual.
Hukum Panjar/Uang Muka
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum panjar ini.
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi”iyah berpendapat bahwa jual beli urbun itu tidak sah. Dalil-dalil yang mereka gunakan di antaranya:
* Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata, “Rasulullah melarang jual beli dengan sistem urbun.”
* Bahwa jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya.
* Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar (hibah) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.
* Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui. Kalau disyaratkan harus ada pengembalian ba-rang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau akan saya kembalikan, namun harus dikembalikan uang bayarannya.”
Dalam hal ini kalangan Hambaliyah berpendapat lain de-mikian juga sebagian ulama lainnya. Mereka menyatakan bahwa jual beli semacam itu boleh. Di antara dalil mereka misalnya:
* Diriwayatkan oleh Nafi bin al-Harits pernah membelikan buat Umar sebuah bangunan penjara dari Shafwan bin Umayyah, yakni apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak men-dapatkan uang sekian dan sekian. Al-Atsram berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau bertanya, “Apa yang harus kukatakan? Ini Umar y (berpendapat seperti itu)”.”
* Lemahnya hadits Amru bin Syu”aib yang menjelaskan dila-rangnya jual beli itu.
* Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.
* Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui, karena syarat diboleh-kannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batallah analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
Ketetapan Majelis Fiqih Islam Seputar Masalah Panjar
Di antara hal yang patut diingat adalah bahwa Majlis Fiqih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bahwa ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Na-mun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Perjanjian ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti mem-beli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memi-liki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang tran-saksi di lokasi akad (jual beli as-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang meng-haruskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila pembelian berlanjut. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.
Kelima: Jual Beli Istijrar
Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret.
Secara terminologis ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu.
Hukum Jual Beli Istijrar
Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak diketahuinya harga pembayaran.
Kalangan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. Itulah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam jual beli ini pun dikem-balikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara dalil yang paling jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah karena bentuk jual beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan belahan dunia, sampai di kalangan mereka yang mela-rangnya sekalipun. Dan tak seorangpun di antara mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu batal.
Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui Harga, “Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu, baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab, “Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.” Beliau ditanya, “Apakah saat itu juga disebut sebagai jual beli?” Beliau menjawab, “Tidak”.”
Ibnul Qayyim 5 menyebutkan dalam I”lamul Muwaqqi”in: “Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa perkiraan harga barang sesung-guhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya: Jual beli yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang daging atau penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil kebutuhannya dari mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal tahun, lalu membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya. Mereka menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan. Itu adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu, dalam arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan dengan pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafalan ijab dan qabul (serah terima).
Kemudian Ibnul Qayyim 5 melanjutkan:
“Pendapat kedua: –dan inilah pendapat yang tepat– yakni yang selalu diamalkan oleh umat Islam di segala masa dan di segala tempat, yakni dibolehkannya jual beli itu sampai batas har-ga termahal. Itulah pendapat yang dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 5. Aku pernah mendengarnya berkata, “Itu lebih menyenangkan hati pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya juga memi-liki panutan. Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh ulama selain saya.” Kemudian beliau melanjutkan, “Orang-orang yang melarang jual beli semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. Bahkan mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma” kaum muslimin, atau sekedar pendapat seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberi-kan mahar standar. Bahkan kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan, tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagai-mana halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual beli lainnya. Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah kepentingan umat dapat ditegakkan.